Rabu, 6 desember 2017 presiden amerika serikat ke-45 Donald Trump secara resmi mengakui kedaulatan kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Hal ini memicu reaksi dunia internasional khususnya dunia Islam. Presiden Turki Erdogan mengutuk keras sikap Presiden Amerika Serikat ini. Dalam pidatonya, Erdogan menegaskan sikap AS tidak tepat.
Presiden Indonesia, jokowidodo , Presiden Rusia, Putin dan Uni Eropa juga mengecam kebijakan Trump. Bahkan Korea Utara sebagai musuh nyata Amerika dengan tegas keberpihakannya pada rakyat Palesti.
Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, ikut mengomentari rencana Presiden Donald Trump agar menghargai status quo Yerusalem sebagai tempat untuk 3 agama, yaitu Islam, Kristen dan Yahudi.
Yerussalem menjadi rebutan ketiga agama besar didunia ini dikarenakan adanya harta karun dan peradaban serta sejarah yang sudah dimiliki sekian lama.
Kebijakan trump ini ditakutkan akan menimbulkan polemik dunia internasional dan berakhir pada peperangan. Mengingat, Perang salib pertama terjadi akibat klaim sepihak oleh Paus Urbanus II terhadap kota Jerusaalem.
Apa yang menjadi perhatian kita adalah sengketa terhadap komplek masjidil Aqsa oleh Zionis Yahudi. UNESCO pada bulan oktober 2016 telah mengeluarkan resolusi bahwa Kuil Bukit atau haram asy-syarif, Masjidil Aqsa dan Tempok Ratapan atau tembok Al-Buraq merupakan situs suci umat Islam.
Resolusi ini kemudian memicu kemarahan Yahudi khusunya zionis Israel. Bagi kaum Yahudi mereka beranggapan bahwa dibawah Haram Asy-Syarif atau komplek Al-Aqsa dulunya berdiri Kuil Sulaiman yang dikenal sebagai Kuil Bukit.
Kuil bukit atau Temple mount yang dikenal pula Haram Asy-Syarif. Merupakan lokasi berdirinya komplek masjidil aqsa. Dimana didalam komplek ini berdiri masjid Al-Qibli, Kubbatus Sakhrah, mushalla al-marwani dan tembok ratapan. Kesemua lokasi ini disebut dengan Baitul Maqdis atau Beit HaMikdash atau juga Yerusalem.
Umat Yahudi meyakini Kuil yang dibangun oleh Nabi sulaiman berada dibawah Masjidil Aqsa atau Haram Asy-Syarif. Setelah rampung pembangunannya pada masa Nabi sulaiman, kuil ini kemudian dihancurkan oleh Raja Babilonia. Raja herodes kemudian membangun ulang bait suci ini. Pada tahun 66 M, umat Yahudi melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Romawi. Empat tahun kemudian, pasukan Romawi di bawah kepemimpinan Titus Flavius menyerang dan menghancurkan Yerusalem beserta Bait Suci kedua. Pada masa Umar hingga Umayyah diatas reruntuhan bait suci tersebut kemudian dibangun kubbatus sakhrah dan masjid Al-Qibli atau masjidil Aqsa.
Namun, saat umat kristen menguasai Yerusaalem pasca perang salib kesatu. Jami' Al Aqsha diubah menjadi istana kerajaan dengan nama Templum Solomonis atau Kuil Sulaiman (Salomo) dan Kubah Shakhrah diubah menjadi gereja dengan nama Templum Domini (Kuil atau Bait Tuhan).
Saat Yerusalem berada dibawah kekuasaan Salahuddin Al-Ayyubi, semua bangunan dihancurkan dan dikembalikan seperti semula.
Atas alasan sejarah itulah, Zionis Yahudi menolak resolusi UNESCO. Faktanya, bangunan-bangunan suci umat Yahudi sejatinya seudah musnah. Bangunan yang berdiri sekarang merupakan bangunan yang direnovasi oleh Salahuddin Al-Ayyubi. Termasuk tempok ratapan atau tempok Al-Buraq.
Tahun demi tahun berlansung hingga klaim berdirinya negara Israel, cita-cita kaum yahudi untuk membangun kembali kuil Sulaiman terus terjaga. Hingga akhirnya Zionis Israel secara terang-terangan melakukan proyek penggalian bawah tanah masjidil Aqsa y dimulai sejak tahun 1968. Penggalian dilakukan dibagian selatan Masjid al-Aqsha, dilanjutkan dengan penggalian bagian barat Masjid al-Aqsa hingga 1970. Sejumlah terowongan pun kemudian dibuat dibawahnya. Proyek itu terus berlanjut hingga sekarang.
Sejak tahun 1963 Zionisme Internasional telah membuat sebuah rencana untuk melaksanakan sekitar 60 penggalian di daerah al-Aqsha dan sekitarnya, yaitu daerah yang mereka sebut “Galangan Suci” yang meliputi Masjid al-Aqsha seluas 144 hektar.
Ekskavasi atau penggalian yang dilakukan Israel ini telah memicu sejumlah sinkhole atau lubang menganga di sekitar kompleks.
Otoritas Israel diketahui sering mengeluarkan izin ekskavasi dan penggalian arkeologis di lokasi yang berjarak dekat dengan kompleks Masjid Al-Aqsa. Langkah Israel ini berdampak pada robohnya sejumlah rumah warga Palestina dan memicu kerusakan pada Masjid Al-Aqsa serta bangunan di sekelilingnya.
Dengan dalih sebagai riset dan penelitian, mereka terus menggali terowongan menuju masjidil Aqsa. Mereka yakin dan berambisi bisa memperoleh bukti-bukti sejarah berupa artefak atau manuskrip untuk menunjukkan Kerajaan Daud pernah ada di Yerusalem.
Lebih dari itu, mereka ingin membuktikan Kuil Sulaiman pernah berdiri di lokasi kini Masjid Al-Aqsa tegak. Ini sangat diperlukan buat memperkuat klaim merekalah pemilik sah Yerusalem, bukan bangsa Palestina. Ekskavasi arkeologi ini sudah berlangsung lebih dari empat dasawarsa.
Sampai sejauh ini, belum ada tanda-tanda keberadaan sisa-sisa Kuil Sulaiman di kompleks al-Aqsa. Dari sekian banyak penggalian yang dilakukan, Israel hanya menemukan terowongan kuno peninggalan Raja Jeconiah (yang memerintah Kerajaan Yehuda/Israil Selatan dari 598-597 SM).
Tidak semua ahli purbaka Israel sepakat dengan proyek penggalian ini. Salah satunya adalah Profesor Israel Finkelstein dari Universitas Tel Aviv. Dia membantah Yahudi memiliki keterkaitan dengan Yerusalem. "Tidak ada bukti arkeologi Kuil Sulaiman pernah ada (di Yerusalem)," ujarnya.
Namun, analisa ini tidak berakhir sampai sini. Penggalian bawah tanah masjidil Aqsa tidak hanya karena faktor sejarah semata. Ada motif lain dibalik proyek ekskavasi pondasi Masjidil Aqsa. Diyakini mereka memiliki misi rahasi dan terselubung.
Klik tombol subscribe pada video ini untuk mengupdate episode berikutnya, membongkar rahasia terselubung dibalik penggalian bawah tanah masjidil aqsa.